Jumat, 31 Juli 2009

SISTEM PENGUKURAN KINERJA ORGANISASI NIRLABA PADA MASA KRISIS EKONOMI (PERBANDINGAN ANTARA BALANCE SCORECARD DENGAN MALCOLM BALDRIGE CRITERIA)

Pada saat ini terdapat berbagai macam bentuk organisasi, akan tetapi terdapat dua bentuk organisasi yang umum:
1.Organisasi bisnis (organisasi profit), lazim disebut sebagai perusahaan. Tujuan dari organisasi bisnis ini adalah mencari keuntungan demi kepentingan pemiliknya. Jadi manajemen perusahaan bekerja untuk meningkatkan “kekayaan” dari pemilik. Untuk perusahaan tertutup, maka yang dimaksud dari pemilik adalah orang yang memiliki perusahaan tersebut dan biasanya adalah turun temurun dengan peningkatan kekayaan diukur dari seberapa besar keuntungan yang didapat, sementara untuk perusahaan terbuka dalam artian telah memperdagangkan saham di bursa maka pemilik perusahaan adalah pemegang saham yang peningkatan kekayaannya diukur dari dividen yang dibagikan dan kenaikan harga saham dari perusahan tersebut.
2.Organisasi non-profit atau nirlaba, biasanya orang mengkaitkannya dengan non-governmental organization (NGO) atau yang di Indonesia lazim dikenal sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Tujuan dari organisasi tipe ini bukan untuk mencari keuntungan melainkan untuk menyalurkan dana kepada masyarakat sesuai dengan visi dan misi organisasi. Misalnya adalah Greenpeace atau WWF yang bergerak di bidang pelestarian lingkungan maka kedua organisasi tersebut “diwajibkan” untuk menyalurkan dana yang mereka miliki untuk program-program penghijauan atau konservasi hewan langka. Pendanaan yang didapat oleh organisasi nirlaba berasal dari donasi atau disokong oleh yayasan tertentu.
Dari dua konsep mengenai organisasi tersebut sebenarnya terdapat satu benang merah, organisasi nirlaba untuk beroperasi membutuhkan dana, selain dari donasi individu biasanya organisasi tersebut mendapatkan dana dari perusahaan-perusahaan besar yang sedang melakukan Corporate Social Responsibility (CSR). CSR dilakukan dengan memberikan sebagian keuntungan dari perusahaan untuk dibagikan kepada lingkungan eksternal dengan melakukan berbagai proyek, dan tidak jarang untuk melakukan proyek tersebut perusahaan mengadakan hubungan dengan organisasi nirlaba sebagai perpanjangan tangan atau mendonasikan keuntungannya tersebut langsung kepada organisasi nirlaba. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keuntungan dari perusahaan secara tidak langsung akan berhubungan dengan pemasukan organisasi nirlaba.
Masalah timbul pada jaman krisis global seperti yang terjadi pada saat ini. Terdapat pengaruh besar dari krisis ekonomi terhadap keuntungan dari perusahaan. Banyak perusahaan yang mengalami kesulitan finansial sehingga harus melakukan berbagai penghematan. Mulai dari pengurangan karyawan hingga penutupan berbagai pabrik. Penghematan lain dilakukan dengan jalan mengurangi pengeluaran dari perusahaan diantaranya adalah dengan mengurangi pengeluaran yang digunakan untuk CSR.
Dengan berkurangnya pengeluaran untuk CSR maka dapat dikatakan bahwa pendapatan dari organisasi nirlaba akan berkurang pula sehingga mengakibatkan proyek yang digarap oleh organisasi ini akan berkurang dan dana yang dikucurkan akan berkurang pula. Padahal kebutuhan akan dana tidak berkurang.
Permasalahan
Sistem penilaian yang seprti apakah yang cocok diterapkan pada organisasi nirlaba pada masa krisis seperti pada saat ini?
Organisasi Nirlaba
Organisasi nirlaba dapat didefinisikan secara hukum sebagai organisasi yang tidak dapat mendistribusikan aset atau pendapatannya untuk kepentingan dan kesejahteraan karyawan atau pemimpinnya . Akan tetapi dibalik pembatasan yang demikian, terdapat beberapa kelonggaran. Yang pertama adalah organisasi nirlaba tidak dilarang untuk memberikan kompensasi untuk karyawannya sebagai imbal balik atas kinerja yang diberikan. Yang kedua adalah organisasi nirlaba tidak dilarang untuk mencari keuntungan, akan tetapi sekali lagi bukan untuk didistribusikan melainkan untuk pendanaan proyek lainnya. Keuntungan lainnya adalah organisasi nirlaba tidak dikenai pajak. Sementara pendapat lain menyebutkan bahwa organisasi nirlaba adalah organisasi yang menuntut manajemennya untuk mampu memberikan program dan pelayanan kepada publik sesuai dengan apa yang disyaratkan oleh para penyandang dana . Dengan demikian dapat dikatakan bahwa organisasi nirlaba sangat tergantung kepada penyandang dana dan memberikan pelaporan kepada para pelaporan kepada penyandang dana tersebut.
Organisasi nirlaba mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1.Tidak adanya pengukuran keuntungan
Sebagian besar tujuan dari bisnis seperti yang tertulis diatas, adalah mencari keuntungan yang tercermin pada net income nya. Biasanya pengukuran dalam perusahaan bisnis lebih mudah. Akan tetapi ketiadaan pengukuran kuantitatif dan kepuasan membuatnya menjadi masalah pengendalian manajemen yang serius bagi organisasi nirlaba. Pada perusahaan bisnis, keuntungan yang tercermin di dalam net income menjadi perhatian yang besar. Semakin besar net income maka semakin baik kinerja dari perusahaan tersebut, namun hal tersebut tidak berlaku pada organisasi nirlaba. Organisasi semacam ini diharuskan untuk menjaga net income tetap berada di atas nol, akan tetapi diutamakan untuk berada pada level yang rendah. Hal ini dikarenakan apabila organisasi nirlaba memiliki net income yang terlalu besar maka dapat dikatakan bahwa organisasi tersebut tidak menyalurkan dana yang dimilikinya untuk kegiatan sosial yang menjadi inti dari organisasi tersebut.
2.Modal yang dipakai, perbedaan dengan perusahaan umumnya adalah tidak adanya dana dari pemegang saham karena seutuhnya bergantung kepada donasi. Terdapat dua modal bagi organisasi nirlaba yaitu: lokasi dan donasi. Lokasi termasuk gedung dan peralatan sementara donasi contohnya adalah hibah uang. Implikasinya adalah organisasi harus membuat dua macam pelaporan. Yang pertama untuk kalangan eksternal dan yang kedua untuk pemberi donasi karena terkait dengan kepercayaan.
3.Akuntansi dana bantuan: kebanyakan organisasi nirlaba mempunyai: a. dana bantuan umum atau dana bantuan operasi, b. dana bantuan lokasi dan donasi, c. dana bantuan lain yang terspesifik. Untuk kontrol manajemen maka dana bantuan umum menjadi perhatian khusus.
4.Tata kelola: organisasi nirlaba dikelola oleh dewan pengawas. Kebanyakan dari mereka tidak terbiasa dengan manajemen bisnis. Pengawasan jauh lebih lemah daripada perusahaan pada umumnya. Namun sebenarnya justru pada organisasi nirlaba dibutuhkan pengawasan yang lebih ketat karena pengawasan yang kuat adalah salah satu jalan untuk mencegah penurunan kinerja.
Dengan demikian maka terlihat bahwa sistem pelaporan yang digunakan menggunakan dua macam pelaporan. Terutama untuk penyandang dana membutuhkan pelaporan khusus tertentu sehingga dibutuhkan adanya suatu pengukuran yang tepat dan berbeda dibandingkan dengan pengukuran perusahaan bisnis pada umumnya. Seperti yang tertulis di atas, pengukuran finansial penting akan tetapi bukan menjadi fokus utama pada organisasi nirlaba. Sistem pegendalian manajemen dari organisasi nirlaba dapat dilihat dari tiga elemen :
•Yang pertama adalah mengenai product pricing, untuk organisasi semacam ini sangat diutamakan untuk menggunakan konsep full cost yang menggabungkan semua unsur dari biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan. Hal ini dilakukan untuk dapat mengontrol pengeluaran organisasi dan dapat disesuaikan dengan pendanaan yang didapatkan oleh perusahaan sehingga ketika biaya yang dikeluarkan membengkak maka dapat diefisienkan. Namun terdapat pendapat pula apabila organisasi ini memiliki unit bisnis lainnya yang berada di luar dari organisasi utamanya maka dapat menggunakan strategi pricing dengan konsep harga pasar. Contohnya adalah sebuah rumah sakit yang dibawahi oleh yayasan tertentu misalnya di Indonesia adalah Muhammadiyah, kemudian rumah sakit tersebut memiliki bisnis sampingan berupa minimarket atau usaha penjualan obat di luar resep dokter maka kedua unit bisnis tersebut harus dapat menggunakan konsep harga pasar yang selalu beradaptasi terhadap perubahan, jadi harga ditentukan oleh keadaan yang terjadi di pasar.
•Untuk masalah perencanaan dan pembiayaan, dalam organisasi nirlaba terdapat semacam suatu aturan yang ketat. Sangat susah bagi suatu organisasi nirlaba untuk merevisi anggaran pada tahun berjalan. Hal ini dikarenakan pada organisasi nirlaba tidak dapat atau sangat susah untuk menambah pendanaan pada proyek yang sedang berjalan. Berbeda dengan perusahaan bisnis yang mampu menambah pendanaan melalui cara marketing yang berbeda. Sehingga masalah pembiyaan menjadi sangat penting di sini.
•Yang terakhir adalah masalah evaluasi dan operasi, dalam organisasi nirlaba tidak terdapat cara untuk mengetahui biaya operasi minimum. Manajer atau pengelola organisasi dihadapkan pada suatu tugas untuk memanfaatkan biaya sesuai dengan rencana pembiayaan yang dirumuskan sebelumnya. Sehingga pada dasarnya efisiensi biaya menjadi suatu hal yang penting.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa efisiensi biaya dari donasi dan sumber dana lainnya menjadi suatu perhatian yang penting dari organisasi nirlaba. Karena pada dasarnya hal ini terkait dengan pengukuran yang akan dilakukan untuk memberikan pelaporan kepada pemberi donasi. Terkait dengan sistem pengukuran dalam pengendalian manajemen, dengan tidak adanya pengukuran keuntungan maka dapat dikatakan bahwa pengukuran dari organisasi nirlaba tergantung kepada persepsi orang lain, dalam artian kelompok orang atau subyek dari proyek yang dijalankan oleh organisasi nirlaba tersebut. Sistem yang dapat digunakan untuk melakukan hal ini adalah dengan jalan survey atau membagi kuesioner kepada responden yang berada dalam lingkup proyek pendanaan. Namun permasalahan timbul karena tidak ada standar baku mengenai pengukuran hasil atau pengukuran kinerja dari organisasi nirlaba ini walaupun data menunjukkan bahwa sekitar 83% organisasi nirlaba melakukan pengukuran hasil dan kinerja pada akhir dari setiap proyek yang dikerjakannya , menurut sebuah penelitian terdapat berbagai macam sistem pengukuran yang organisasi nirlaba gunakan :
•Sebanyak 28 perusahaan menggunakan penilaian berdasarkan kepuasan dari para subyek yang dikenai proyek, survey ini juga diberikan kepada orang-orang di sekitar subyek tersebut, dengan 16 diantaranya hanya berfokus kepada kepuasan tanpa memperhatikan keadaan subyek tersebut.
•Sebanyak 23 perusahaan menggunakan agency record sebagai cara untuk mengukur hasil atau kinerja dari suatu proyek. Yang dimaksudkan di sini adalah organisasi mengukur tingkat kesehatan mental dan keadaan lingkungan dari subyek setelah dilakukannya suatu proyek tertentu.
•Sisanya menggunakan pengumpulan data melalui tes administratif mengenai perkembangan sebelum dan sesudah dilakukan proyek tersebut dan biasanya organisasi nirlaba akan menggunakan beberapa sukarelawan untuk mengumpulkan data.
Dari sedikit penjelasan diatas maka dapat dikatakan bahwa pada dasarnya pengukuran hasil dan kinerja yang dilakukan oleh perusahaan nirlaba tidak memiliki standar yang khusus. Hal ini cukup riskan mengingat pengukuran kinerja sering dijadikan sebagai dasar dalam mengukur seberapa baik organisasi tersebut. Dengan pengukuran proyek yang bermacam-macam tersebut maka dapat saja suatu organisasi akan mendapatkan nilai yang lebih baik daripada organisasi lain sekalipun pada kenyataannya proyek yang dilakukannya justru kurang memberikan manfaat. Sebagai contoh misalnya organisasi A menggunakan pengukuran hasil atau kinerja dengan melihat tingkat kepuasan dari subyek tanpa memperhatikan keadaan subyek tersebut, dibandingkan dengan organisasi B yang melakukan pengukuran berdasarkan lingkungan. Maka hasil dari organisasi A akan jauh lebih baik dibandingkan dengan apa yang didapatkan oleh organisasi B, padahal belum tentu kenyataan yang ada di lapangan menunjukkan hal yang serupa.
Implikasinya terletak pada lingkungan eksternal dari organisasi nirlaba, pengukuran kinerja yang terbaik biasanya akan mendapatkan dana atau donasi yang jauh lebih besar. Terlebih pada era krisis seperti saat ini disaat perusahaan-perusahaan besar mulai melakukan pemangkasan biaya termasuk pengeluaran mereka pada CSR, maka organisasi yang melaporkan pemanfaatan donasi dengan baik tidak peduli dengan pengukuran apapun, akan mendapatkan donasi kelanjutan yang jauh lebih besar.
Pada akhirnya, kecenderungan yang terjadi adalah adanya kemungkinan bahwa organisasi nirlaba akan berusaha untuk memberikan pelaporan yang lebih bagus dengan melakukan beberapa markup di sana-sini. Yang terjadi kemudian adalah praktek yang tidak sehat.
Organisasi Nirlaba dan Balance Scorecard (BSC)
Balance Scorecard (BSC) merupakan pendekatan yang dikembangkan oleh Robert Kaplan pada tahun 1992, pendekatan Kaplan ini menjadi terkenal karena pengukuran kinerja tidak hanya berdasarkan kepada pengukuran finansial saja melainkan menggunakan pendekatan non finansial . Selain itu, BSC muncul karena terdapat pemahaman baru bahwa suatu aktivitas operasional yang kecil harus terkait atau selaras dengan tujuan utama perusahaan dalam lingkup suatu visi dan misi .
Penggunaan BSC yaitu dengan jalan memberikan kartu skor kepada pihak-pihak terkait perusahaan (para stakeholders termasuk di dalamnya adalah konsumen dan karyawan). Pada kartu skor ini akan ditulis mengenai hasil kinerja seseorang atau perusahaan secara keseluruhan dengan bobot tertentu. Kemudian ditulis pula mengenai harapan dan tujuan yang hendak dicapai pada masa yang akan datang, diharapkan dari adanya perencanaan ini maka hasil yang didapat pada masa datang dapat dibandingkan apakah telah mampu memenuhi atau justru melebihi dari apa yang diharapkan.
Kerangka kerja dari BSC berdasarkan kepada empat perspektif yang dapat digambarkan sebagai berikut :
Dari keempat macam elemen dalam BSC maka dapat dilihat bahwa tiap-tiap tonggak dalam perusahaan memiliki posisi yang sama, saling mempengaruhi dan disatukan dengan adanya suatu visi dan misi perusahaan yang menjadi suatu pegangan bersama. Posisi antara elemen finansial dengan pembelajaran yang berkelanjutan adalah sama dengan demikian dapat dikatakan bahwa kesemuanya sama pentingnya. Dalam BSC sendiri, konsep mengenai pentingnya pelanggan juga memperoleh tempat tersendiri, sehingga dapat dikatakan bahwa proses bisnis internal sama pentingnya dengan kepuasan dari konsumen.
Perspektif mengenai konsumen inilah yang kemudian membuat BSC cocok diterapkan di organisasi nirlaba , karena pada organisasi tersebut konsumen atau subyek manusia yang terkena imbas dari proyek menjadi suatu perhatian penting. Selain itu dalam konsep BSC terlihat pula mengenai tujuan jangka panjang yang diharapkan oleh perusahaan. Dengan demikian dari BSC ini diharapkan perusahaan memiliki perencanaan yang jauh lebih baik untuk menghadapi permasalahan-permasalahan atau kemungkinan kesulitan-kesulitan untuk dapat diatasi pada saat tahun berjalan. Dengan demikian diharapkan bahwa perencanaan ini akan memberikan suatu strategi yang lebih matang terutama dalam menghadapi krisis layaknya yang saat ini dihadapi oleh banyak negara di dunia.
Organisasi Nirlaba dan Malcolm Baldrige Criteria (MBC)
Pada dasarnya Malcolm Baldrige merupakan suatu penghargaan dengan kepanjangan Malcom Baldrige National Quality Award (MBNQA) yang diberikan United States Institute of Standards and Technology kepada perusahaan yang memperhatikan masalah kualitas di perusahaannya. Pada konsep MBC terdapat pemahaman bahwa suatu perusahaan harus mampu untuk mengembangkan kemampuan mereka dalam mengembangkan praktek dan kemampuan terbaik dalam rangka memberikan pelayanan terbaik kepada konsumen. Pada mulanya MBC memiliki fokus kepada masalah kualitas dari pelayanan akan tetapi pada perkembangannya MBC mengembangkan konsep mengenai bagaimana mengembangakan kinerja yang baik (ekselen) pada suatu perusahaan. Dalam konsep MBC terdapat tujuan dari perusahaan yaitu :
•Memberikan suatu nilai lebih kepada konsumen dengan peningkatan yang berkelanjutan untuk dapat memenangkan pasar.
•Pengembangan pada semua bidang organisasional untuk mencapai keefektifan dan kemampuan.
•Pembelajaran organisasional dan personal.
Dengan adanya tujuan tersebut maka dapat dikatakan bahwa konsep dasar dari MBC adalah bagaimana perusahaan mampu mengintegrasikan aspek-aspek internal organisasinya untuk memberikan pelayanan yang memuaskan kepada konsumen. Dengan demikian maka kemudian muncul pertanyaan mengenai bagaimana kriteria ini dapat diterapkan menjadi suatu sistem pengukuran? Bagaimana pula dengan penerapannya dalam organisasi nirlaba?
Pada dasarnya konsep dari MBC memiliki beberapa elemen :
• Kepemimpinan
• Perencanaan Strategis
• Fokus pada pasar dan konsumen
• Pengukuran, analisis dan Performance Management
• Workforce Focus
• Process Management
• Hasil (Result)
Dapat digambarkan sebagai berikut :

Jadi dapat dikatakan bahwa pada MBC terdapat suatu pemahaman bahwa untuk mencapai hasil yang baik dibutuhkan proses yang teratur dan terarah. Dengan demikian hasil yang didapatkan bukan hanya berasal dari markup semata yang pada dasarnya justru akan memberikan hasil yang tidak obyektif.
Terkait dengan sistem pengukuran kinerja dari suatu organisasi maka dapat dikatakan bahwa MBC dapat diterapkan untuk mengukur sejauh mana perusahaan telah melakukan proses yang mengalir seperti yang digambarkan pada bagan diatas. Seberapa jauhkah perusahaan telah melakukan usaha untuk meraihnya, dapat dilihat juga mengenai apakah perusahaan telah memberikan perhatian yang cukup kepada masing-masing elemen. Mungkin memang tidak dapat merata karena pada dasarnya tiap-tiap elemen yang terdapat dalam MBC memiliki bobot tertentu yang berbeda satu sama lain. Berikut adalah bobot yang dimiliki oleh tiap-tiap elemen :

Jadi dapat dikatakan bahwa apabila suatu organisasi akan menggunakan MBC sebagai standar pengukuran kinerja maka perlu dipahami bahwa masing-masing elemen memiliki bobot masing-masing yang dapat dikatakan sebagai hal tersebut menjadi prioritas yang harus diperhatikan. Terlepas dari elemen hasil yang memiliki poin tertinggi maka masalah kepemimpinan menjadi hal yang penting karena tidak dapat dipungkiri bahwa organisasi akan meraih keberhasilan apabila dipimpin oleh seseorang yang memang memiliki jiwa kepemimpinan yang baik. Kemudian poin kedua yang memiliki bobot cukup besar adalah masalah manajemen pengetahuan dan pengembangan yang berkelanjutan. Seperti yang telah diketahui bersama bahwa pengembangan yang berkelanjutan untuk memberikan kepuasan pada konsumen menjadi perhatian yang besar bagi organisasi, sehingga dapat dikatakan bahwa konsep MBC ini telah memenuhi apa yang disyaratkan untuk mencapai suatu kinerja yang baik dari perusahaan. Manfaat lainnya apabila perusahaan menerapkan konsep MBC ini adalah adanya peluang bagi perusahaan untuk mengetahui elemen manakah yang tidak secara optimal mendukung aliran proses untuk menuju hasil yang diinginkan. Selain itu adalah konsep MBC ini tidak serta merta mensyaratkan kepada organisasi untuk mengikuti bobot yang diberikan terutama untuk penilaian di lingkup internal. Terdapat kesempatan untuk menyesuaikannya sejalan dengan konsep dan model bisnis yang dimiliki oleh organisasi tersebut, hal ini dikarenakan bobot yang diberikan itu terkait dengan penilaian perusahaan terbaik yang akan mendapatkan penghargaan. Ambil contoh di Indonesia, organisasi atau perusahaan tentunya tidak akan mengikuti penghargaan tersebut sehingga dapat dimodifikasi. Akan tetapi tentunya akan lebih baik untuk mencapai suatu standardisasi yang baik maka bobot yang diberikan tersebut tetap dipertahankan.
Kriteria yang diberikan oleh MBC ini dapat dijalankan pada organisasi nirlaba karena pada dasarnya konsep penilaian yang diberikan dapat diterapkan pada organisasi tipe ini. MBC akan berjalan baik pada organisasi nirlaba karena beberapa sebab:
• MBC menggunakan konsep aliran proses untuk mencapai tujuan dan dinilai seberapa baikkah organisasi dalam mengimplementasikan elemen-elemen tersebut. Suatu bentuk aliran sangat tepat digunakan dalam organisasi nirlaba karena pada dasarnya yang dilakukan oleh organisasi nirlaba adalah proyek-proyek tertentu yang silih berganti akan berubah. Setiap proyek memiliki tujuan tertentu yang berbeda satu sama lain sekalipun masih berada pada satu payung visi dan misi organisasi. Sehingga dapat dikatakan bahwa dengan adanya aliran maka organisasi dapat menilai dari setiap proyek yang ada telah menerapkan berbagai elemen yang dibutuhkan untuk memperoleh hasil yang diharapkan. Dengan adanya penilaian kinerja ini maka kemudian dapat dilakukan suatu evaluasi terhadap proyek tersebut dan dimanakah letak kekurangan dari organisasi untuk kemudian dapat diperbaiki untuk proyek selanjutnya agar hasil yang diraih berdasarkan kepada kinerja yang baik dari masing-masing elemen.
•Menempatkan kriteria mengenai hasil finansial pada elemen hasil atau results saja. Hal ini sesuai dengan hakikat dari organisasi nirlaba yang menempatkan masalah finansial pada bagaimana net income mampu dipertahankan sedikit diatas nol.
•Masalah yang terkait dengan proses dan sumber daya manusia memiliki poin atau bobot yang cukup besar. Seperti contohnya adalah elemen kepemimpinan dan lingkungan kerja (workforce) selain masalah manajemen proses. Hakikat dari organisasi nirlaba yang paling dasar adalah bagaimana mengelola donasi yang ada dan telah melalui proses perencanaan pendanaan. Dengan demikian maka proses menjadi suatu hal yang penting terkait dengan bagaimana pengelolaan proyek untuk menuju hasil, terkait dengan proses maka terkait pula dengan yang menjalankannya yaitu semua elemen dalam perusahaan mulai dari pemimpin hingga pegawai sehingga lingkungan kerja yang kondusif dan jiwa kepemimpinan menjadi hal yang penting pada organisasi nirlaba.
•Menempatkan penganggaran dan perencanaan sebagai salah satu faktor penting. Menjadi suatu ciri khas dari organisasi nirlaba bahwa penganggaran menjadi hal yang krusial terlebih-lebih sangat sulit bagi organisasi nirlaba untuk melakukan revisi anggaran pada tahun berjalan layaknya perusahaan bisnis yang berorientasi kepada keuntungan atau profit.
•Inti dari MBC adalah adanya proses yang berkelanjutan pada internal untuk memberikan kepuasan kepada konsumen pada level eksternal. Pada organisasi nirlaba, konsumen yang dimaksudkan adalah subyek yang menerima pengaruh dari proyek yang dijalankan. Setiap proyek tentunya membutuhkan pengembangan dari proyek yang sebelumnya untuk dapat memberikan standar hasil yang lebih tinggi lagi untuk pengembangan selanjutnya.
BSC dan MBC (Manakah yang Lebih Baik?)
Dari kedua pembahasan diatas mengenai dua sistem pengukuran yang dapat diterapkan pada organisasi nirlaba maka kemudian dapat dianalisis mengenai manakah sistem terbaik yang dapat diterapkan terutama pada masa krisis yang tentunya menurunkan donasi. Perbadingan adalah suatu hal yang sangat subyektif. Setelah melihat beberapa keuntungan dari penerapan masing-masing sistem pengukuran maka kemudian dapat dianalisis dari kerugian masing-masing standar.
•Pada BSC
oTidak terdapat diagram aliran yang ada hanyalah konsep perputaran mengenai posisi dari masing-masing elemen dengan kesemuanya diharapkan menyatu untuk dapat menghasilkan tujuan yang dikehendaki oleh organisasi.
oFinansial sekalipun bukan menjadi fokus utama akan tetapi masih mendapatkan porsi yang cukup besar yang terkadang akan terlalu riskan apabila diterapkan pada organisasi nirlaba.
oBobot dari masing-masing elemen belum terlihat jelas, menjadikan subyektifitas perusahaan akan besar dan hal ini berpengaruh kuat pada kaitannya dengan lingkungan eksternal dan usaha untuk mencari dana dari perusahaan bisnis.
oAspek SDM perusahaan belum tergali lebih lanjut padahal dalam organisasi nirlaba hal tersebut menjadi perhatian yang penting.
•Pada MBC
oAliran yang selalu harus diperhatikan akan sedikit membingungkan untuk tetap dipertahankan komposisinya.
oKesulitan dalam mengimplentasikan bobot dari masing-masing elemen yang terdapat dalam MBC.
oVisi dan misi yang tidak secara ekplisit terlihat, mungkin diharapkan dari adanya kepemimpian yang baik maka visi dan misi yang dirumuskan akan cenderung dapat dilakukan dengan baik pula oleh organisasi.
Pada era seperti saat ini dengan melihat kelemahan dan kelebihan dari kedua macam pengukuran ini maka akan menjadi suatu perdebatan mengenai manakah yang terbaik. Dari perspektif penulis, maka yang lebih baik untuk diterapkan pada organisasi nirlaba adalah konsep dari Malcolm Baldrige Criteria.

Kesimpulan
Malcolm Baldrige Criteria menjadi lebih baik karena adanya beberapa alasan, yang pertama adalah tentunya dalam era krisis seperti pada saat ini yang dipentingkan bagi perusahaan pemberi donasi adalah dana yang diberikannya akan tepat sasaran dan tepat guna sesuai dengan konsep CSR yang telah dirumuskan oleh perusahaan. Pandangan dari perusahaan donator tentunya adalah kinerja yang baik. Akan menjadi suatu dilema apabila perusahaan donator tidak memperoleh data yang dapat dibandingkan satu dengan yang lainnya, diharapkan dengan adanya suatu standar yang baik melalui bobot yang telah ditentukan akan terjadi suatu persaingan yang sehat untuk mendapatkan donasi yang cukup bagi perusahaan.
Yang kedua adalah adanya diagram aliran yang tentunya mengutamakan proses dan memiliki tujuan pada ujungnya. Dengan demikian organisasi dapat melakukan hal-hal yang tepat sesuai dengan aliran tersebut dan dengan demikian diharapkan bahwa tujuan yang hendak dicapai dilalui melalui proses yang baik pula karena pada dasarnya dalam organisasi nirlaba diperlukan adanya suatu proses yang berkelanjutan sehingga ketika organisasi mampu menerapkan suatu diagram aliran yang bagus maka tentunya dapat diterapkan untuk proyek-proyek selanjutnya. Pada akhirnya hal ini akan memberikan efisiensi kepada perusahaan pula.
Dengan adanya suatu diagram aliran pula dan dengan adanya proses yang ada maka penilaian kinerja dari organisasi akan terfokus bagaimana organisasi mampu memanfaatkan donasi yang ada untuk diterapkan pada berbagai proyek. Karena perlu disadari bahwa terdapat berbagai macam faktor eksternal yang berada di luar kendali organisasi sehingga ketika terjadi penurunan kinerja maka tidak serta merta hal itu menjadi kesalahan manajemen namun bisa juga karena adanya faktor yang tidak terduga tersebut seperti krisis ekonomi pada saat ini.
Masalah sumber daya manusia yang secara eksplisit disebutkan, karena pada dasarnya donasi tidak dapat dijalankan apabila SDM tidak mendapatkan tempat yang lebih luas dan dalam MCB hal ini tercermin pada adanya faktor kepemimpinan dan lingkungan kerja yang memperoleh bobot yang cukup besar. Terutama dalam era krisis maka SDM harus jauh lebih mumpuni dan pemimpin harus dapat menahkodai organisasi agar tetap dapat berjalan dengan baik.
Dengan demikian terlihat mengapa dalam era krisis seperti pada saat ini MCB jauh lebih baik untuk menilai kinerja organisasi nirlaba, namun kembali kepada subyektifitas masing-masing untuk memilih manakah sistem yang tepat untuk diterapkan pada organisasi nirlaba mengingat yang hasilnya bukan untuk kompensasi melainkan pengembangan yang berkelanjutan bagi perusahaan dan bagi konsumen yaitu subyek dari proyek.


Referensi
Anthony, Robert M dan Vijay Govindarajan, 2007, Management Control System, Mc-Graw Hill:New York.
Baldrige National Quality Program, 2009, Criteria for Performance Excellence, http://www.quality.nist.gov/Business_Criteria.htm, diakses pada tanggal 23 April 2009.
Budiarti, Isniar, balanced scorecard sebagai alat ukur kinerja dan alat pengendali sistem manajemen strategis, Majalah Ilmiah Unikom, volume 6, halaman 51-59
Cutt James, June 1998, Performance Measurement in Non-Profit Organizations: Integration and Focus Within Comprehensiveness, Asian Journal of Public Administration Volume 20 No.1
Morley, Elaine, dkk., 2001, Outcomes Measurement in Nonprofit Organizations: Current Practices and Recommendations, http://www.independentsector.org/programs/research/outcomes.pdf, diakses pada tanggal 23 April 2009.
Wikimedia Foundation, 2009, Balance Scorecard, http://en.wikipedia.org/wiki/Balanced_scorecard, diakses pada tanggal 23 April 2009.
Wikimedia Foundation, 2009, Malcolm Baldrige National Quality Award, http://en.wikipedia.org/wiki/Malcolm_Baldrige_National_Quality_Award, diakses pada tanggal 23 April 2009.
Wikimedia Foundation, 2009, Non-profit organizationhttp://en.wikipedia.org/wiki/Non_profit_organization, diakses pada tanggal 23 April 2009.

Tidak ada komentar:

About Me

Foto saya
Moody, badan berisi (gemuk.. hwehe).. sexy. seneng jalan-jalan n berteman..

Lagu.....